Kebanyakan dari kita pasti sudah pernah mendengar kata kaderisasi.
Kaderisasi intinya adalah proses penurunan nilai kepada kader suatu
organisasi atau institusi. Untuk angkatan 2013 pasti sudah pernah
mengalami kaderisasi setidaknya 1 kali yaitu saat OSKM ITB 2013. OSKM
merupakan kaderisasi yang bertujuan untuk “memantaskan” mahasiswa baru
yang merupakan lulusan SMA agar dapat menyesuaikan diri dengan predikat
mahasiswa yang baru diraihnya.
Mengapa saya mengangkat judul tentang paradigma?
Oke,
mungkin saya akan memulai dengan bertanya kepada para pembaca sekalian :
Apakah anda sangat senang menjadi peserta kaderisasi alias kader? Jika
jawabannya YA, maka terimakasih anda telah selesai membaca tulisan ini.
Jika TIDAK, maka lanjutkan membaca tulisan ini. Kemudian pertanyaan yang
perlu saya ajukan pada pengkader adalah : Sudah siapkah para kader
memasuki organisasi anda?
Dari jawaban atas pertanyaan tersebut
mungkin peserta kader akan menjawab : Tidak, saya lebih suka mengerjakan
pekerjaan lain dari pada kaderisasi; saya tidak ingin dimarah-marahi;
saya punya jadwal yang sangat padat dsb. Kemudian pengkader juga mungkin
menjawab : Masa iya adek-adek ini akan meneruskan organisasi; Saya rasa
mereka belum pantas; Wah keliatannya perlu agitasi dsb. Ini hanyalah
salah satu contoh dari sekian banyak kondisi yang dapat terjadi.
Inilah
yang saya maksud paradigma tersebut, yakni perbedaan pandangan antara
pengkader dan kader. Dalam hal ini seorang kader menginginkan kaderisasi
yang secukupnya, kader mungkin berpikir : Semua materi sudah saya
terima dan sudah saya hayati, jadi seharusnya kaderisasi ini sudah
selesai. Namun dari sisi pengkader tetap meneruskan proses kaderisasi
secara formal, hal ini dapat terjadi karena meskipun sebagian besar para
kader telah menerima materi dengan baik, tetapi pemahaman ini tidak
menyeluruh ke seluruh peserta kader. Hasilnya adalah pengkader menekan
para peserta kader untuk mendistribusikan pemahamannya ke peserta lain.
Hal ini tentu membuat para kader merasa kesal, lelah, dan dapat mundur
dari proses kaderisasi tersebut apalagi jika metodenya cukup “keras”
seperti agitasi.
Solusi dari permasalahan ini menurut saya
adalah kedua pihak yakni kader dan pengkader saling menurunkan ego
masing-masing, yakni dengan berpikiran yang lebih realistis ketimbang
ideal. Para kader diharapkan dapat berpikir : Saya akan menjalani
kaderisasi ini, semoga softskill saya dapat berkembang dengan baik
melalui proses ini. Sementara itu para pengkader diharapkan juga dapat
berpikir : Kita harus mempertimbangkan metode penyampaian nilai-nilai
kita, zaman sudah berubah dan mungkin metode baru harus digunakan, kita
tidak perlu terpaku dengan budaya.
Well, akhirnya proses
kaderisasi merupakan hal yang rumit dan pasti ada pro dan kontra
didalamnya. Kini saatnya kita benar-benar membuka mata, telinga dan
menegakkan kepala kita untuk menjadi insan yang semakin kritis
sebagaimana seharusnya seorang mahasiswa.
0 comments:
Post a Comment