Redian M. Fikri's

Project

Kader & Pengkader : Paradigma dalam Kaderisasi

Leave a Comment
Kebanyakan dari kita pasti sudah pernah mendengar kata kaderisasi. Kaderisasi intinya adalah proses penurunan nilai kepada kader suatu organisasi atau institusi. Untuk angkatan 2013 pasti sudah pernah mengalami kaderisasi setidaknya 1 kali yaitu saat OSKM ITB 2013. OSKM merupakan kaderisasi yang bertujuan untuk “memantaskan” mahasiswa baru yang merupakan lulusan SMA agar dapat menyesuaikan diri dengan predikat mahasiswa yang baru diraihnya.



Mengapa saya mengangkat judul tentang paradigma?

Oke, mungkin saya akan memulai dengan bertanya kepada para pembaca sekalian : Apakah anda sangat senang menjadi peserta kaderisasi alias kader? Jika jawabannya YA, maka terimakasih anda telah selesai membaca tulisan ini. Jika TIDAK, maka lanjutkan membaca tulisan ini. Kemudian pertanyaan yang perlu saya ajukan pada pengkader adalah : Sudah siapkah para kader memasuki organisasi anda?
Dari jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin peserta kader akan menjawab : Tidak, saya lebih suka mengerjakan pekerjaan lain dari pada kaderisasi; saya tidak ingin dimarah-marahi; saya punya jadwal yang sangat padat dsb. Kemudian pengkader juga mungkin menjawab : Masa iya adek-adek ini akan meneruskan organisasi; Saya rasa mereka belum pantas; Wah keliatannya perlu agitasi dsb. Ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kondisi yang dapat terjadi.

Inilah yang saya maksud paradigma tersebut, yakni perbedaan pandangan antara pengkader dan kader. Dalam hal ini seorang kader menginginkan kaderisasi yang secukupnya, kader mungkin berpikir : Semua materi sudah saya terima dan sudah saya hayati, jadi seharusnya kaderisasi ini sudah selesai. Namun dari sisi pengkader tetap meneruskan proses kaderisasi secara formal, hal ini dapat terjadi karena meskipun sebagian besar para kader telah menerima materi dengan baik, tetapi pemahaman ini tidak menyeluruh ke seluruh peserta kader. Hasilnya adalah pengkader menekan para peserta kader untuk mendistribusikan pemahamannya ke peserta lain. Hal ini tentu membuat para kader merasa kesal, lelah, dan dapat mundur dari proses kaderisasi tersebut apalagi jika metodenya cukup “keras” seperti agitasi.

Solusi dari permasalahan ini menurut saya adalah kedua pihak yakni kader dan pengkader saling menurunkan ego masing-masing, yakni dengan berpikiran yang lebih realistis ketimbang ideal. Para kader diharapkan dapat berpikir : Saya akan menjalani kaderisasi ini, semoga softskill saya dapat berkembang dengan baik melalui proses ini. Sementara itu para pengkader diharapkan juga dapat berpikir : Kita harus mempertimbangkan metode penyampaian nilai-nilai kita, zaman sudah berubah dan mungkin metode baru harus digunakan, kita tidak perlu terpaku dengan budaya.
Well, akhirnya proses kaderisasi merupakan hal yang rumit dan pasti ada pro dan kontra didalamnya. Kini saatnya kita benar-benar membuka mata, telinga dan menegakkan kepala kita untuk menjadi insan yang semakin kritis sebagaimana seharusnya seorang mahasiswa.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment